Beranda | Artikel
Apakah Shalat Sunnah Wudhu Adalah Bidah Hasanah?
Selasa, 16 Mei 2023

Pertanyaan:

Ada ustadz yang menjelaskan bahwa shalat sunnah wudhu itu dibuat oleh Bilal bin Rabah radhiyallahu’anhu. Ketika Bilal ditanya oleh Nabi tentang amalan apa yang dilakukan Bilal sehingga Nabi mendengar suara sandal Bilal di Surga, Bilal menjawab: shalat sunnah wudhu. Ini menunjukkan bahwa boleh membuat ibadah baru asalkan baik, atau disebut dengan bid’ah hasanah. Apakah benar demikian?

Jawaban:

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Pertama, tidak boleh mengada-adakan perkara agama yang tidak ada asalnya dalam agama, walaupun dianggap baik. Yang melarang hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy-Syura: 21)

Di sini Allah ta’ala melarang kebid’ahan. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini: “Mereka (orang-orang musyrik) tidak mengikuti apa yang telah disyariatkan Allah melalui agama Allah yang lurus ini. Bahkan mereka mengikuti syariat dari setan-setan yang berupa jin dan manusia. Mereka mengharamkan apa yang diharamkan oleh setan tersebut, yaitu bahiirah, saaibah, washilah, dan haam. Mereka menghalalkan bangkai, darah dan judi, dan kesesatan serta kebatilan yang lain. Semua itu dibuat-buat secara bodoh oleh mereka, yaitu berupa penghalalan (yg haram), pengharaman (yang halal), ibadah-ibadah yang batil dan perkatan-perkataan yang rusak” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7/198)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).

Maka bagaimana mungkin Bilal bin Rabah radhiyallahu’anhu, seorang sahabat yang mulai, melakukan perkara yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya?

Kedua, tidak ada bid’ah yang baik bahkan semua bid’ah itu buruk. Yang mengatakan demikian adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat An-Nasa’i,

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An-Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An-Nasa’i).

Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengatakan semua bid’ah adalah kesesatan, bukankah suatu kelancangan jika kita justru tidak mengatakan demikian?

Oleh karena itu Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan:

كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة

“Setiap bid’ah adalah kesesatan walaupun dianggap baik oleh orang-orang” (Al-Ibanah, karya Ibnu Bathah, 1/339).

Ketiga, tidak benar bahwa Bilal bin Rabah radhiyallahu’anhu melakukan bid’ah hasanah dengan membuat ibadah shalat sunnah wudhu. Hadits yang dimaksud adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala anhu, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal ketika akan shalat subuh,

يَا بِلَال، حَدِّثنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلَامِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الجَنَّةِ. قَالَ : مَا عَمِلْتُ عَمَلَ أَرْجَى عِنْدِى أنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهاَرٍ، إِلَّا صَلَيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كَتَبَ لِي أَنْ أُصَلِّي

“Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku amalan yang engkau andalkan di sisi Allah yang pernah engkau lakukan dalam Islam! Karena aku mendengar hentakan kedua sandalmu di hadapanku di surga. Bilal menjawab, “Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang paling aku andalkan bagiku kecuali ketika aku bersuci (berwudhu) baik pada waktu malam maupun waktu siang, kecuali aku akan shalat setelahnya sesuai kemampuanku” (HR. Al-Bukhari no.1149, Muslim no.2458).

Jawaban atas syubhat di atas dapat dijelaskan dengan beberapa poin:

Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengamalkan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no.1718).

Larangan berbuat bid’ah dalam hadits ini dan hadits-hadits lainnya bersifat umum dan tidak terdapat takhsis (pengecualian) dalam dalil-dalil yang lain. Sehingga tidak ada pengecualian bagi Bilal untuk membuat ibadah baru.

Kedua, hadits Bilal ini tidak menunjukkan bahwa Bilal membuat amalan baru karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ”Amalan apa yang menjadi andalanmu?”. Seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ”Wahai Bilal, dari semua yang amalan yang aku ajarkan dalam Islam, amalan mana yang menjadi andalanmu?”. Karena amalan shalat sunnah wudhu sudah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Bilal dan para sahabat yang lain. Dan amalan shalat sunnah wudhu tidak hanya Bilal yang mengetahuinya.

Amalan ini terdapat dalam hadits Uqbah bin Amir dan Utsman bin Affan yang menyebutkan amalan ini. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلمِ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِرُ وُضُوْءَهُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّي ركَعَتَيْنِ مُقْبِلٌ عَلَيْهِمَا بِقلبه وو جهه إلا و جبت له الجنة

“Tidaklah seseorang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu shalat dua rakaat dengan sepenuh hati dan jiwa melainkan wajib baginya (mendapatkan) surga” (HR. Muslim no.234).

Dari Humran pembantu Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, ia berkata:

أن عثمانَ بنَ عفانٍ رضِيَ اللهُ عنه دعا بوَضوءٍ . فتوضأ . فغسل كَفَّيْهِ ثلاثَ مراتٍ . ثم مضمض واستنثر. ثم غسل وجهَه ثلاثَ مراتٍ . ثم غسل يدَه اليُمْنَى إلى المِرفَقِ ثلاثَ مراتٍ . ثم غسل يدَه اليُسْرَى مِثْلَ ذلك . ثم مسح رأسَه . ثم غسل رجلَه اليُمنَى إلى الكعبين ثلاثَ مراتٍ . ثم غسل اليُسرَى مِثْلَ ذلك . ثم قال : رأيتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم توضأ نحوَ وُضوئي هذا . ثم قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم من توضأ نحوَ وُضوئي هذا، ثم قام فركع ركعتين، لا يُحَدِّثُ فيهما نفسَه، غُفِرَ له ما تقدم من ذنبِه . قال ابنُ شهابٍ : وكان علماؤُنا يقولونَ : هذا الوُضوءُ أسبغُ ما يُتَوَضَّأُ به أحدٌ للصلاةِ

“Suatu ketika Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu meminta air wudhu, kemudian dia berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali. Kemudian berkumur-kumur dan istintsar (mengeluarkan air dari hidung, tentunya didahului memasukkan air ke hidung; istinsyaq). Kemudian membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga kali. Kemudian membasuh tangan kirinya dengan cara yang sama. Kemudian beliau mengusap kepalanya dengan air (satu kali). Kemudian membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, kemudian membasuh kaki kirinya dengan cara yang sama. Kemudian Utsman mengatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat dengan tanpa menyibukan jiwanya, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al-Bukhari no. 159, 164, Muslim no. 226).

Maka jelas tidak benar bahwa amalan ini diada-adakan oleh Bilal radhiyallahu’anhu.

Ketiga, andaikan kita asumsikan Bilal membuat amalan baru. Maka kita katakan Bilal melakukan shalat sunnah wudhu disetujui, dipuji, dan tidak dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini disebut sebagai sunnah taqririyah yaitu sunnah yang ditetapkan atas persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Andaikan di zaman sekarang ada yang membuat amalan baru dalam agama, maka siapa yang menyetujuinya padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah wafat? Sehingga tidak sama amalan yang disetujui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan amalan yang tidak disetujui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kesimpulannya, tidak benar hadits ini digunakan sebagai dalih untuk melakukan amalan ibadah baru dalam agama.

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/42131-apakah-shalat-sunnah-wudhu-adalah-bidah-hasanah.html